AKU DAN HIDUPKU
Oleh: Ayu Nurmala Sari
Malam semakin larut dan dingin, aku terjaga dari lamunanku yang aku sendiri tak tahu dari kapan aku memulai lamunan itu. Aku merasa malam ini tak seperti malam-malam sebelumnya, entah apa yang membuat malam ini berbeda. Sejenak aku menoleh ke arah meja belajarku yang di atasnya terdapat fotoku dengan abang. Saat itulah aku baru tersadar ternyata yang membuat malam ini berbeda adalah abang. Ya! Tak salah lagi, aku baru ingat kalau abang telah meninggalkan kami semua tepatnya 5 hari yang lalu. Aku masih belum percaya dan belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Abang, sosok pria yang patuh pada orang tua, sosok pria cerdas yang menyayangi dan mengasihi adiknya, begitu cepat pergi meninggalkan kami semua.
Aku tersentak dari pemikiran itu dan aku beranjak dari kamarku, tak biasanya rumah ini sepi. Biasanya selalu ada lantunan ayat-ayat suci terdengar dari kamarnya, petikan-petikan gitar dan suara merdunya, tapi kini semua sudah berubah, semua berubah sejak abang meninggal.
Perlahan aku berjalan menuju kamar abang, tapi kali ini yang aku dengar bukanlah lantunan suara abang saat mengaji dan bukan pula petikan gitar abang saat bernyanyi lagu-lagu nasyid, yang aku dengar adalah suara tangis yang tak lain dan tak bukan adalah suara tangis mama.
Aku melihat mama sedang duduk di atas ranjang abang sambil memeluk sajadah merah kesayangan abang.
Tak sanggup aku menyaksikan deraian air mata mama, wajar saja bila mama sangat merasa kehilangan anak tercintanya itu. Abang adalah pria dewasa yang sangat patuh kepada kedua orang tuanya, menyayangi aku, baik budi pekertinya, dan abang juga sangat cerdas.
Abang pernah berpesan kepadaku sebelum beliau meninggal, “dek, kamu harus menyelesaikan sekolahmu,kamu harus bisa membanggakan orang tua dan keluarga, satu lagi jangan pernah meninggalkan shalat ya dek, apapun yang terjadi” ucapan itu akan selalu terngiang di telingaku.
Perlahan aku berjalan menuju ruang tamu, aku melihat papa sedang duduk melamun sendirian sambil memeluk foto abang, “pa, sudahlah pa, ikhlaskan saja, semua ini sudah kehendak Allah pa, kasihan abang kalau papa sama mama terus-terusanan begini” aku memegang pundak papa dan memeluknya, papa hanya terdiam dan masih terus memeluk foto abang, begitulah setiap hari yang dilakukan oleh mama dan papa.
Sepertinya papa dan mama sangat terpukul dengan kepergian abang, papa tidak pernah bekerja lagi dan mamapun sekarang sakit-sakitan. Aku sudah hampir lulus SMA tapi keadaan di rumah semakin carut marut, mama dan papa tak pernah mempedulikan aku lagi, tak pernah memperhatikan aku lagi sehingga aku melakukan segala sesuatunya sendirian.
keadaan ekonomi keluargakupun sekarang semakin melemah dikarenakan papa tidak bekerja lagi, jadi aku sekarang bekerja sampingan untuk menghidupi keluargaku. Aku bekerja sebagai guru private matematika di lingkungan sekitar.
Seperti biasanya setiap pagi aku selalu membangunkan mama dan papa, aku terpukul melihat keadaan kedua orang tuaku seperti ini “ma, pa bangun yuk, kita shalat!”perlahan aku sentuh papa dan mama, “Dio...Dioo..Dio..” papa memanggil manggil nama abang, tak terasa jatuh air mataku melihat keadaan ini, kembali aku sentuh dengan lembut kaki papa “pa bangun pa..kita shlat subuh dulu yuk!” tapi papa masih saja memanggil-manggil nama abang, dan sekarang aku membangunkan mama “mama, bangun yuk ma, kita shalat dulu, kita doakan abang supaya tenang di sana” mama mendorong aku “aku tidak mau shalat lagi, aku capek, percumah aku shalat kalau anakku takkan kembali lagi” mama berteriak sambil menangis, ku dekap mama, kupeluk erat mama sambil menangis dan kubaringkan mama di tempat tidur kembali, akupun bergegas untuk shalat subuh. Dalam sujudku, aku menangis tersedu, menuangkan dan meluapkan apa yang ada di hatiku, ku kadukan semuanya pada Allah, dan setelah itu aku bisa lebih tenang.
Waktu telah menunjukkan pukul 07.00 dan aku harus berangkat ke sekolah, sambil mencium tangan papa dan mama aku pamit untuk berangkat sekolah, “ma, pa, Lala ke sekolah dulu ya ma, mama sama papa jangan kemana-mana, jangan lupa makan ya” air mataku kembali membasahi pipiku.
Sesampainya di sekolah, aku mendapat panggilan dari kepala administrasi sekolah, memberitahukan bahwa aku belum membayar SPP selama 3 bulan, dan aku berjanji akan membayarnya minggu depan, entah dengan apa aku harus membayarnya, untuk makan saja aku susah, Uang hasil mengajar private mana cukup untuk menutupinya, Aku kembali ke kelas dengan perasaaan iba dan tak terasa kembali jatuh air mata ini membasahi pipiku. Sayup-sayup ku dengar dari belakang, ada seseorang memanggilku “Lalaaaa....Lalaa....” aku menoleh ke belakang, dan ternyata Rita teman dekatku “Lala, papa kamu La..” perkataan Rita terputus “papa aku kenapa Ta?” tanyaku penasaran, Rita memelukku dan mengusap punggungku “kamu harus sabar ya La, papa kamu.....papa kamu meninggal karena kecelakaan” bagai tertusuk pedang panjang hatiku ini saat mendengarnya, dunia seakan menyempit dan seolah napasku terhenti saat itu juga “Inna..lillahi..wainailai..hiroji’un” kata-kataku terbata, aku berlari sekuat tenaga, tak peduli apa yang ada di hadapanku saat itu, aku berlari dan terus berlari menuju rumahku, sesampainya di rumah, aku melihat ayah sudah terbujur kaku dan mama pinsan, jiwaku benar-benar terguncang, aku masih tak percaya akan hal ini, tak percaya bahwa yang sekarang sedarang terbaring kaku itu adalah papa.
Kepergian papa sangat menggoreskan luka yang pedih, terutama di hati mama. Belum berhenti airmata mama karena kepergian abang 2 tahun lalu, dan kini papa. Semakin hari badan mama semakin kurus, lemah dan tak berdaya, mama sakit-sakitan, tak ada yang dilakukannya selain menangis, memanggil nama abang dan papa. Saat itu aku benar-benar merasa tidak sanggup menghadapi ini semua tapi aku ingat ucapan abang, ingat nasehat-nasehat abang bahwa aku harus membuat keluarga bangga, karena itulah aku kuat menjalani ini semua.
Selain mengajar private, aku sekarang bekerja paruh waktu sebagai tukang cuci piring di sebuah rumah makan di sebuah daerah yang cukup jauh, setiap pulang sekolah aku tidak pernah pulang, melainkan bekerja sebagai tukang cuci piring. Dan malamnya aku harus mengajar private. Jika aku hanya menghandalkan hasil mengajarku saja mana cukup, semua beban keuangan keluarga aku yang menanggungnya bahkan uang sekolahpun aku membayarnya sendiri, oleh karena itu untuk bisa meneruskan sekolah dan kehidupanku, aku sekolah sambil bekerja.
aku sudah kelas 3 SMA dan sebentar lagi aku selesai, akankah aku meneruskan sekolahku ke perguruan tinggi? Hal inilah yang saat ini ada di benakku, sepertinya tidak mungkin, untuk makan saja aku harus membanting tulang, bagaimana aku mau kuliah? Tapi kembali aku ingat ucapan abang, dan saat itu aku bertekad untuk mendapatkan beasiswa.
Pada awal semester aku duduk di kelas tiga ini, aku sangat bersyukur karena kembali aku meraih juara umum I yang sejak dari SD aku pertahankan, airmata haru membasahi pipiku, aku teringat akan papa dan abang yanng selalu mngajari aku dari sejak aku kecil hiingga aku bisa berdiri di sini, juga teringat akan mama yang sekarang terbaring lemah di rumah. Pukul 13.45 aku sampai di rumah, seperti biasa aku melihat mama di kamar, tak ada yang berubah, mama hanya bisa terbaring lemah sambil memeluk foto abang dan sarung papa. Setelah aku istirahat sejenak di rumah, aku harus berangkat kembali untuk bekerja mencuci piring di restoran di mana tempat aku bekerja. Saat aku berjalan menuju tempat kerja, aku melihat ada selebaran perlombaan karya tulis ilmiah yang hadiahnya untuk pemenang pertama adalah beasiswa kuliah di perguruan tinggi negeri gratis. Dengan semangat membara, aku simpan selebaran itu dan bergegas menuju tempat kerja.
Hari telah gelap, aku harus pulang ke rumah dan setelah itu aku harus kembali mengajar private, lelah di badan ini sudah tak terasa lagi, apalagi setelah aku membaca selebaran tadi siang, seolah ada setitik harapan untuk aku bisa melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi. Sepulang dari mengajar, aku menjenguk mama yang saat ini sedang duduk sambil berbicara sendiri dengan foto papa dan abang, seolah-olah papa dan abang itu masih ada, tak peduli bahwa yang mama ajak bicara itu adalah hanya sebuah foto,aku mendekati mama dan ingin berusaha memberi pengertian kepada mama bahwa papa dan abang sudah tiada “ma, mama nggak boleh terus-terusan begini, mama harus ikhlas menerima semuanya ma” mama menatapku dan tersenyum “Lala, bentar yah mama lagi ngobrol sama papa dan abang kamu, kamu tunggu di luar aja” sepertinya jiwa mama sangat terguncang, mama masih beranggapan bahwa papa dan abang masih ada di sini dan mama bertindak seolah papa dan abang ada di rumah ini, “ma, sudah malam ma, kita tidur ya ma, papa sama abang juga capek tuh mau tidur juga” pedih hati ini menyaksikan keadaaan ini, mama mengecup keningku seperti waktu papa dan abang masih ada, sebelum tidur mama memang mengecup keningku, airmataku megalir tanpa henti “ya sudah kalo gitu Lala juga tidur ya, Dio kamu juga tidur ya nak” ucap mama sambil mencium foto abang. Mama berbaring di tempat tidur dan perlahan aku tutup tubuh mama dengan selimut dan ku cium kening mama “selemat malam mama, tidur yang nyenyak ya mama”. Aku meninggalkan kamar mama, sesak terasa dada ini saat melihat keadaan mama seperti sekarang ini. Kembali aku teringat akan karya tulis ilmiah itu, rasa lelah dan kantukku menghilang seketika, mulai malam ini aku menggarap karya tulis ini dengan penuh harapan, tak henti-hentinya aku berdoa agar menjadi pemenang pertama dan dapat kuliah seperti teman-teman lain.
Deadline pengumpulan karya tulis ilmiah adalah besok, dan aku sudah mengumpulkan karya tulisku itu jauh sebelum deadline, pengumuman pemenang adalah 10 hari setelah deadline pengumpulan, aku sangat berharap sekali bahwa aku bisa meneruskan sekolahku, tak pernah berhenti berharap dan berdoa “ya Allah, jika memang engkau mengizinkan hamba untuk dapat meneruskan sekolah hamba, berikanlah jalan hamba untuk menujunya ya Allah” doa yang tak pernah bosan aku panjatkan kepada Allah. SWT.
Hari yang kutunggu-tunggu telah tiba, hari ini adalah pengumuman pemenang lomba karya tulis ilmiah itu, aku menghadiri acara itu, dengan istighfar yang tak pernah berhenti aku ucapkan meski dalam hati, panitia memulai untuk mengumumkan pemenangnya, serasa tak sanggup aku mendengarnya, harapanku sudah terlalu besar akan hal ini, dan ternyata pemenangnya adalah... panitia menyebut namaku, ya!!! Tak salah lagi itu namaku “Nurmala Alfara Farishi” dengan hati senang dan haru aku bersujud sambil menangis, berderai air mataku disertai tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang ada di gedung itu, panitia memintaku untuk berdiri di depan, masih dengan isak dan tangis haru, aku berjalan menuju ke mimbar, panitia memintaku untuk sedikit berbagi rasa haru ini kepada semua hadirin “Assalamualaikum Wr.Wb” seluruh orang yang ada di gedung itupun menjawab salamku dengan semangat “saya, Nurmala Alfara Farishi, masih tak percaya dapat berdiri di sini, terima kasih saya ucapkan kepada Allah yang telah memberi kesempatan kepada saya untuk dapat berdiri di sini, kepada almarhum papa “Ahmad Alfarishi” yang selalu mengajari saya tentang hal-hal yang baik hingga saya bisa ada di sini, kepada mama “Bunga Fatimah Nurmala” yang sekarang sedang terbaring lemah di rumah dan almarhum abang tercintaku “Ahmad Ramadhio Alfarishi” abang yang tak pernah lelah mengajari adiknya tentang kebajikan dan ilmu agama.....” ketika aku memberikan ungkapan rasa syukurku itu, airmataku berderai membasahi seluruh bagian wajahku, aku sangat bersyukur ternyata usahaku tak sia-sia dan Allah mendengarkan do’aku. Acara telah selesai dan aku tak tahan lagi ingin memberitahu mama akan hal ini, tapi saat itu aku melihat mama berdiri di hadapanku, dengan pakaian rapi dan senyum bahagia seperti sedia kala “mama...???!!” teriakku, “Lala...” mama memelukku erat, entah apa yang membuat mama sadar dan berubah menjadi seperti dulu lagi. Sudah lama sekali aku merindukan hangatnya pelukan mama, ku peluk mama erat seolah tak ingin hal buruk terjadi lagi “maafkan mama nak, selama ini membiarkankanmu hidup sendirian” “mama, mama tau seperti apa rasa bahagia di hati ini ma? Lala bahagia liat mama kembali seperti dulu ma, Lala nggak pernah sebahagia ini sebelumnya” tangis haru terpecah dari bibir kami berdua.
Aku dan mama segera pulang, mama meminta untuk jalan kaki saja karena mama sudah lama sekali tidak berjalan-jalan di sini bersamaku, begitu pinta mama. Bahagia menyelimutiku, tak henti-hentinya aku ucap syukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan untuk hari ini.saat aku dan mama ingin menyebrang tiba-tiba sebuah mobil melaju cepat di hadapan kami, mama mendorongku dan mama? Untuk melindungiku mama rela tertabrak mobil itu, “mamaaaaa..!!!!”teriakku histeris, kejadian itu begitu cepat, yang aku tau mama berusaha menyelamatkanku dan mengorbankan nyawanya, kepala mama berdarah dan saat itu juga mama menghembuskan nafas terkahirnya “mama, mama bangun maaa.... mama jangan tinggalin Lala ma, Lala nggak mau hidup sendiri ma!” ku peluk mama yang berlumuran darah, tapi mama sudah tiada “ya Allah mengapa harus aku yang megalami ini? Baru sebentar aku merasakan bahagia, mengapa kebahagiaan itu hilang secepat itu ya Allah” aku menangis sejadi-jadinya.
Hari demi hari berhasil aku lalui meski dengan deraian airmata menghadapi pahitnya hidup ini. Pesan mama sebelum meninggal adalah aku harus bisa hidup sendiri dan harus menyelesaikan kuliahku, sekarang aku sudah bekerja sebagai dokter spesialis bedah di sebuah rumah sakit ternama. yang membuat aku kuat hidup sampai saat ini adalah mama, papa dan abang, ya Allah terima kasih telah memberiku orangtua dan abang yang luar biasa, kepada mama, papa dan abang terimakasih telah mendidikku hingga aku menjadi seperti ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar